Indonesia Kekurangan Engineer?


Enginnering atau perekayasaan didefinisikan sebagai aplikasi pengetahuan praktis, sosial, ekonomi, dan ilmiah untuk melakukan rancang bangun, memelihara, dan memperbaiki struktur-struktur, mesin-mesin, perangkat, sistem-sistem, material-material, dan proses-proses. Seorang engineer atau biasa disebut sebagai insinyur adalah orang-orang yang memiliki kapabilitas melakukan perekayasaan tersebut. Seorang insinyur tidak hanya memiliki kemampuan analisis namun juga kemampuan sintesis untuk menyelesaikan permasalahan yang ada.

Menurut Mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Hatta Rajasa, Indonesia kekurangan tenaga insinyur atau engineer sebanyak 25.000 orang (detik finance, red). Hal ini dapat berdampak pada lambatnya pertumbuhan ekonomi karena penguasaan teknologi mendorong secara signifikan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Saat ini pertumbuhan ekonomi Indonesia didominasi oleh sektor perdagangan dan jasa sehingga Indonesia peranannya hanya sebagai pasar yang produk-produknya didominasi asing.Kurangnya tenaga insinyur jika dibiarkan terus menerus menyebabkan Indonesia tidak memiliki daya saing dengan negara-negara lain, khususnya ASEAN, yang sudah lebih awal mempersiapkan tenaga-tenaga ini.

Menurut World Economy Forum tahun 2012, Indonesia berada pada urutan ke-88 negara yang memiliki kesiapan dalam pemanfaatan teknologi untuk pembangunannya (Berita Satu.com, red). Untuk itu, pemerintah harus bekerja keras untuk mengembangkan potensi sumber daya manusia Indonesia yang mampu melakukan rekayasa teknologi dalam mendukung pembangunannya khususnya untuk mendukung peningkatan nilai tambah produk ekspor sehingga ekspor negeri ini tidak didominasi oleh ekspor bahan-bahan mentah. Memang sumber permaslahan ini semua ada pada kualitas pendidikan di Indonesia yang masih jauh dari harapan. Berdasarkan data Badan Pusat Statsitika Indonesia tahun 2012 struktur pendidikan masyarakat Indonesia sebagian besar di sekolah dasar dan menengah. Berdasarkan data tersebut hanya 9.20% penduduk Indonesia yang mengenyam pendidikan tinggi baik sarjana maupun diploma, 23.60 % berpendidikan sekolah menengah, 17.99% berpendidikan SMP, 28.92% berpendidikan SD, dan masih ada 20.29% tidak berpendidikan. Dari 9.20% penduduk yang berpendidikan tinggi tersebut mungkin hanya sedikit yang mengambil bidang sebagai engineer. Masalah mendasar inilah yang harus diatasi negara.

Salah satu solusi untuk mengatasi permasalahan jumlah tenaga enginer yang sedikit adalah dengan memfokuskan ijin program studi yang fokus pada menghasilkan tenaga engineer dan pemerintah memberikan prioritas beasiswa kepada masayarakat yang mengambil bidang sebagai engineer apalagi jumlah usia produktif masyarakat Indonesia paling besar di ASEAN yaitu sekitar 255,5 juta atau 40,3 persen dari total jumlah penduduk ASEAN. Selain itu, pemerintah harus merestrukturisasi kementrian misalnya kementrian pendidikan dan kemenpora dilebur menjadi satu dengan fokus kerja utama adalah membangun sumber daya handal untuk tingkat dasar, menegah, kejuruan, dan vokasi untuk membangun tenaga-tenaga terampil atau profesional dan Kementrian ristek mengambil alih pengelolaan perguruan tinggi berorientasi riset untuk tingkat sarjana, magister, dan doktor sehinga perguruan tinggi dengan lembaga-lembaga riset di Indonesia dapat secara intensif berkolaborasi untuk melakukan penelitian ilmu dan teknologi. Diharapkan dengan dikoordinasikannya perguruan tinggi berbasis riset dengan lembaga-lembaga penelitian oleh kementrian ristek tidak hanya dihasilkan produk-produk penelitian yang memberikan nilai tambah bagi negara Indonesia, namun juga dihasilkan sumber daya manusia scientist maupun engineer.

Pemerintah dinilai perlu bekerja sama secara intensif dengan lembaga atau asosiasi insinyur Indonesia untuk menciptakan kompetensi atau sertifikasi yang diakui internasional. Asosiasi ini harus dijadikan stakeholder pemerintah dalam menentukan arah dan kebijakan terkait dengan teknologi sehingga Indonesia tidak lagi dikuasai oleh produk teknologi asing.


Tinggalkan Balasan