E-Learning 2.0 : Paradigma Baru Pembelajaran On-Line


Selama bertahun-tahun, model learning adalah dengan pembelajaran tatap muka di kelas, dengan pembicaraan satu arah dari pengajar pada siswa. Sebagian besar e-learning saat ini hanya mengotomatisasi proses tersebut. Perbedaannya hanya bahwa dengan e-learning, pengajar maupun siswa tidak perlu berada di tempat yang sama pada waktu yang sama. Namun, meskipun telah banyak dana yang dihabiskan untuk mengembangkan sistem multimedia interaktif, satu unsur yang penting telah hilang yaitu kehadiran orang lain. Permasalahan ini diatasi dengan blended learning. Namun seringkali interaksi tatap muka yang terjadi dilakukan secara tradisional [1].

Cross (2003, dalam [2]) menyatakan bahwa proses belajar seringkali terjadi dalam suasana informal, seperti pengamatan terhadap orang lain, bertanya pada teman sebelah, menelepon help desk, trial and error, atau bekerja sama dengan orang yang memahami hal tersebut. Proses belajar secara akademik juga menggunakan berbagai saluran informal, seperti melalui permainan, simulasi, eksperimen, cerita, dan discovery.

Selama beberapa tahun terakhir, web telah bergeser dari peranan sebagai suatu media, untuk mengirimkan informasi, menjadi platform, sebagai tempat content diciptakan, dibagikan, digabungkan, dan disampaikan (Downes, 2005, dalam [3]). Generasi terbaru ini memiliki karakteristik user-centric, open, dynamic web, dengan peer production, sharing, collaboration, collective intelligence, distributed content, dan decentralized authority in the foreground. Generasi web ini disebut sebagai Web 2.0 (O’ Reilly, 2005 dalam [2]). Social software muncul sebagai komponen utama dari pergerakan Web 2.0 (Alexander, 2006, dalam [2]). Social software dapat didefinisikan sebagai alat untuk menambah kemampuan sosial dan kolaboratif manusia, sebagai media untuk memfasilitasi hubungan sosial dan pertukaran informasi dan sebagai suatu ekologi untuk memungkinkan suatu sistem dari orang, praktik, nilai, dan teknologi dalam suatu lingkungan lokal tertentu (Coates, 2003, dalam [2]).

Pendekatan social software memberikan beberapa keuntungan terhadap pembelajaran on-line dibandingkan pendekatan tradisional. Pendekatan ini merefleksikan sifat alami dari learning yaitu sosial, personal, terdistribusi, fleksibel, dinamis, dan kompleks. Selain itu, pendekatan ini merepresentasikan pergeseran model learning management system menjadi lebih sosial, personal, terbuka, dan dinamis [2].

Tren yang menarik saat ini adalah perkembangan yang pesat antara jejaring sosial dan solusi mobility. Kolaborasi jejaring sosial menciptakan komunitas-komunitas on-line dan mobility menjadi delivery channl yang disukai, tidak hanya untuk memperbaiki return on investment, tetapi juga memperluas cakupan global dan meningkatkan efisiensi operasional para pekerja di perusahaan atau institusi [4].

Tren inilah yang melahirkan mobile social network enablement, yaitu menanamkan on-demand social networking dan kapabilitas kolaborasi ke dalam aplikasi mobile untuk meningkatkan utilitasnya [4].

Layanan-layanan mobile dan aplikasi-aplikasi kolaborasi sosial tidak hanya menyediakan pengalaman sosial dan pengalaman kolaborasi kepada user, namun juga seharusnya menciptakan collective intelligence dan mengembangkan cara baru untuk medapatkan wawasan-wawasan, opini-opini, persepsi-persipsi, dan membuka diskusi menarik dengan semua komunitas. Oleh sebab itu aplikasi jejaring sosial sudah seharusnya bukanlah aplikasi yang sifatnya stand alone, namun juga terintegrasi dengan aplikasi-aplikasi di organisasi [4]

Jejaring sosial dan solusi-solusi kolaboratif dapat diterapkan di metode pembelajaran mobile learning. Adopsi jejarning sosial dan solusi kolaboratif ini diyakini mampu membantu peningkatan interaksi pengajar dan pembelajar atau interaksi antar pembelajar, peningkatan kolaborasi pengajar dan pembelajar, perluasan jaringan dan terciptanya budaya berbagi informasi.

Implementasi social software pada e-Learning selanjutnya melahirkan generasi baru e-Learning bernama e-Learning 2.0 [5] dengan fitur :

  1. lingkungan pembelajaran sosial atau kolaboartif;
  2. konten-konten yang dikembangkan pengguna, tidak terpusat pada pengajar. Pembelajaran adalah aktifitas pengembangan konten (generating content) dan komunikasi dengan pembelajar lainnya (communicating with people);
  3. adanya fitur aggragating (RSS) dan tagging;
  4. adanya berbagi pengetahuan (knowledge sharing);
  5. personalisasi (personal learning environments);
  6. collective intelligence (wisdom of the crowd);
  7. penggunaan jaringan dengan teknologi beragam;
  8. menumbuhkan kreatifitas dan inovasi.

e-Learning ecosystem

Gambar 1. Ekosistem e-Learning 2.0 [5]

Berdasarkan Gamabr 1, secara umum ekosistem e-Learning 2.0 mencakup aspek [5] :

  1. learning space terdiri dari personal space (RSS Feed, e-Portfolio, dan personal blog), collaboration and communication space (course blog, course wiki, bookmarking, messaging, content sharing, podcasting, social network, dan mashup), media library, search engine, dan analyzing space;
  2. knowledge management;
  3. collective intelligence.

Pustaka :

[1] Chatti, M.A., Jarke, M., and Frosch-Wilke, D. (2007) . “The Future of e-Learning: A Shift to Knowledge Networking and Social Software”, Int. J. Knowledge and Learning, Vol. 3, Nos. 4/5, pp.404-420.

[2] Hart, Jane (2009). “The Future of e-Learning is Social Learning”. Centre for Learning and Performance Technology.

[3] Chatti, M.A., Jarke, M., and Frosch-Wilke, D. (2007) . “The Future of e-Learning: A Shift to Knowledge Networking and Social Software”, Int. J. Knowledge and Learning, Vol. 3, Nos. 4/5, pp.404-420

[4] Maan, Jitendra. “A Connected Enterprise-Transformation Through Mobility And Social Networks”. International Journal of Managing Information Technology (IJMIT) Vol 4. No.3. August 2012.

[5]  Yuen Steve C. “Collective Intelligence and E-Learning 2.0. Creating Futures Through Technology Pre-Conference”. Biloxi, Mississippi. March 3, 2010.


Tinggalkan Balasan